FENOMENA BAHASA
Fenomena
bahasa merupakan fenomena yang menarik untuk kita kaji lebih mendalam. Hal ini terutama
hubungannya dengan bahasa sebagai tindak tutur dalam komunikasi di masyarakat.
Secara etimologis, bahasa adalah penggunaan yangmerupakan gabungan fonem
sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks membentuk kalimat yang memiliki
arti. Sedangkan secara harfiah, bahasa adalah suatu lambang bunyi yang
digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi satu sama lain.
Bahasa
sendiri tak akan berhenti pada suatu titik tertentu saja. Melainkan akanterus berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, sering muncul istilah bahwa,
suatu bahasa pada saatnya akan dianggap usang pada masayang akan datang. Apa
sebenarnya yang menjadi pembeda bahasa, khususnya bahasa tutur pada masa-masa
sebelumnya dengan masa sekarang? Aspek-aspek apa saja yang menjadi pembedanya?
Marilah kita mengupasnya satu persatu.
Bukanlah
rahasia lagi kalau bahasa itu akan terus berkembang sesuaiperkembangan zaman.
Sehingga bukanlah hal sepele kalau dikatakan bahwa, jika engkau hendak
menaklukkan sebuah negeri, maka kuasailah bahasanya terlebih dahulu. Kita harus
sadari bahwa, generasi yang sekarang beda dengan generasi pendahulu, dan
tentunya generasi yang akan datang akan berbeda dengan generasiyang sekarang.
Bukan hanya dari segi umur, kemampuan teknologi, sains, tetapi juga dalam aspek
bahasa dan cara bertutur kata.
Saya
tertarik dengan pembagian generasi yang dilakukan di Barat sana. Mereka membagi
generasi menjadi generasi Baby Boomers, generasi X, generasi Y, dangenerasi Z. Dalam
beberapa referensi generasi ini diklasifikasikan berdasar tahun kelahiran.
misalnya Pre Baby Boom (lahir pada 1945 dan sebelumnya), The Baby Boom (lahir
antara 1946 – 1964), The Baby Bust (lahir antara 1965 – 1976) – Generasi X,
– Generasi Y (lahir antara 1977 – 1997), – Generasi Z/GenerationNet (lahir
antara 1998 hingga kini).
Nah,
konteks ke-Indonesian mengharuskan saya untuk berpikir dalam kerangkaIndonesia
juga. Dalam kerangka Indonesia, maka saya membaginya dalam tigagenerasi saja,
yaitu berdasarkan perkembangan teknologi yang sudah ada. Maka dariitu saya akan
fokus ke generasi Y, yaitu generasi sekarang (menurut konteks indonesia, kita
ketinggalan 10-15 tahun teknologi).
Fenomena
berbahasa tutur untuk generasi saat ini jika kita perhatikan maka akan menemukan
ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Lebih terbuka dalam berkomunikasi
2.
Dalam berkomunikasi labih nyaman
menggunakan teknologi (HP)
3.
Berani mengungkapkan hal-hal yang dalam
masyarakat ditabukan.
Garis
besarnya, anak-anak pada generasi saat ini sangat flexible dalam berkomunikasi.
Hal ini bisa kita lihat dari penggunaan bahasa-bahasa “alay”, bahasa - bahasa
“gaul”, dsb. Mereka pikir dengan menggunakan cara tersebut mereka akan lebih
terterima dalam komunitas mereka, dalam masyarakat yang sedang
menyanjung perubahan besar-besaran.
Tentu
saja jika hal ini tidak dibarengi dengan pengawasan yang berjenjang,maka bukan
tidak mungkin bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dijadikan bahasa nasional
dan bahasa resmi di negara ini, akan tergerus oleh zaman.
Bukan
hanya itu yang menjadi fenomena bahasa yang terjadi di masyarakatpada saat
sekarang ini. Saat ini, para politikus sering atau cenderung
berbahasa, berekspresi dan bertutur secara samar. Hal ini dimaksudkan untuk
menyembunyikan maksud yang sebenarnya yang mereka ingin capai. Fenomena ini
menurut pakar ataupun pemikir bahasa terkemuka, Noam Chomsky disebut “Double
speak” atau tutur ganda. Saat ini, sering sekali kita mendengar bahasa tutur yang
merupakan tuturganda, ataupun kata-kata yang diperhalus untuk mengurangi
kritikan publik. Tengok saja kata “diamankan” sebagai pengganti kata
“ditangkap”, “kekurangan pangan”sebagai ganti “kelaparan”. Hal ini tentu saja
untuk mengurangi dampak yang akan ditimbulkan oleh penggunaan kata ini, yang mungkin
saja bagi mereka terdengar “kasar”.
Terdapat
juga gejala “panasea”, dimana para politikus di Indonesia menggunakannya
sekedar sebagai obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Hal ini begitu menarik untuk
kita cermati karena baru-baru ini kita sering kali melihatnya, apalagikalau
bukan euforia sepak bola nasional kita. Sering muncul dalam koran lokal maupun
nasional, dikabarkan bahwa meskipun kalah, indonesia tetaplah menangkarena
tidak terkalahkan di partai kandang. Hal ini dimaksudkan sekedar untuk mengobati hati yang terluka, bak “panase”,
atau obat penawar luka yang mujarab.
Hal
inilah yang terjadi dalam bahasa publik saat ini. Orang-orang mulai ramai,dari
orang yang tingkat ekonominya rendah sampai presiden menggunakan kata
kata double speak maupu panasea ini. Hal ini menurut saya diluar dari garis
kebenaran. Atau bahkan menyembuunyikan makna yang sebenarnya. Mereka
menggunakanbahasa sebagai alat yang eufimisme, dapat dibentuk sesuka hati
mereka. Mereka dapat menggunakan bahasa sebagai kontrol politik, sehingga dapat
dengan mudah lawan politiknya masuk bui, hanya dengan persoalan bahasa.
Tapi
sebelum itu, kita harus pahami bahwa kedua istilah ini sangat berbeda maknanya.
Jikalau Double speak ini bisa dikatakan menyembunyikan kenyataan dari kenyataan
yang sebenarnya, maka panasea memperindah kenyataan yang tidak mengenakkan sehingga menjadi “enak’ didengar.
Hal ini tentu saja berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi di
masyarakat saat ini.
Sebagai
publik speaker, tentunya kita harus jeli untuk memperhatikan fenomena-fenomena
bahasa seperti ini. Apalagi jika harus berhadapan dengan orang banyak (publik).
Banyak hal yang perlu kita persiapkan, terutama sikap mental dalam menghadapi
permasalahan publik. Jika kita sudah mengetahui masalah apa yang kita hadapi,
maka dengan begitu kita selangkah lebih dekat dengan solusinya. Juga,sebelum
tampil didepan orang banyak untuk berdialog misalnya, kita tentunya harus mengetahui
sebelumnya, dengan masyarakat apa kita berhadapan. Sehingga dengan begitu, dalam
berkomunikasi dengan mereka kita bisa menggunakan kata-kata yang tepat dalam
berbahasa, berekspresi dan bertutur kata.
Hal
ini cukup penting, dikarenakan profesi publik speaker atau pembicarapublik
selain dituntut untuk mengetahui banyak hal yang terjadi di dalam masyarakat,
juga sebagai fasilitator jika terjadi kesalah pahaman dalam masyarakat
tersebut, dan jika gagal, bukan hanya cemoohan yang akan dia dapatkan bagi
dirinya dan juga institusi yang diwakilinya, tetapi juga turunnya integritas
seorang publik speaker dalam masyarakat pada umumnya.
Mengapa
hal ini perlu kita bahas dalam hubungannya dengan fenomena berbahasa dan
bertutur, sebab profesi publik speaker begitu dekat dengan masyarakat. Ibarat
kata, seorang publik speaker merupakan mata rantai penghubung antara satu komunitas
dengan komunitas yang lain, sehingga dengan begitu kita akan saling mengenal
budaya, serta bahasa dan kebiasaan lainnya.
Pengetahuan tentang
budaya tutur ini begitu penting untuk kita ketahui. Hal ini apat menunjukkan
betapa agungnya budaya tutur di Indonesia pada umumnya. Sehingga, meskipun
terpaut berbagai generasi dengan generasi pencetus bahasa indonesia sebagai
bahasa nasional, kita masih bisa merasakan manfaatnya hingga saat ini.
Sementara bahasa tutur itu sendiri, mengingat betapa banyaknya ragam tutur di Indonesia.